Dakwah Islam dan Demokrasi
Tantangan demokrasi direspon secara beragam oleh umat Islam. Sebagian menerima demokrasi dengan memberikan beberapa catatan. Sebagian lain menolak demokrasi secara mutlak, parsial maupun global.
Demokrasi adalah sistem yang dilahirkan di Barat. Barat mengakui persamaan hak pada rakyat untuk ikut serta dalam
mengatur kehidupan umum melalui lembaga negara. Dalam sistem mereka, rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan sekaligus sumber hukum. Hal ini dalam filsafat Barat dianggap kondisi alamiah (natural law). Tujuan-tujuan demokrasi Barat
terwujud dan terpelihara melalui institusi perwakilan (legislatif) yang bertugas membuat undang-undang dan mendelegasikannya pada eksekutif untuk kemudian dia awasi dan dia mintai pertanggungjawaban.
Bagi kelompok Islam yang menerima demokrasi tidaklah berarti sistem ini diambil dengan bulat seperti itu. Contohnya, Islam menerima konsep persamaan manusia didepan hukum. Al-Maududi mengatakan bahwa titik-temu mendasar antara demokrasi dan Islam ada dalam hal ini (Human Rights in Islam, hal.10). Demikian pula dalam hal kedaulatan, Dr Muhammad Imarah menganalisa titik persamaan lainnya, yaitu mengenai ketetapan bahwa kedaulatan manusia adalah hak yang
diakui asalkan ia berpijak diatas kedaulatan Allah. Maka kedaulatan manusia berhak untuk merinci serta menjabarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum-hukum Allah melalui proses yang disebut ijtihad (Perang Terminologi,
hal. 180). Dengan demikian, dalam demokrasi Islam, kedaulatan manusia tidak bertentangan dengan kedaulatan Allah.
Senada dengan Dr. Imarah, Prof. Wahbah Zuhaili mengatakan lebih jauh, bahwa trilogi demokrasi—eksekutif, legislatif dan yudikatif—bisa diterima oleh Islam selama sistem yang berlangsung disitu tunduk pada prinsip-prinsip Allah (Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, 8: 264). Bagi Prof. Zuhaili prinsip persamaan ini juga ditemukan melalui konsep Islam yang menghendaki kesetaraan dan penghormatan terhadap manusia serta memerangi segala bentuk kedhaliman dan tirani.
Adapun Dr Yusuf Qardhawi menegaskan sistem pemilihan umum dalam demokrasi bisa diterima oleh Islam melalui konsep syura-nya. Dari Indonesia, ketika melakukan oposisi terhadap Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, M. Natsir menyerukan sikap kembali pada demokrasi yang terpimpin dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup tinggi (Muhammad Natsir 70 Tahun, hal. 216). Nilai-nilai tinggi yang Natsir maksudkan ini adalah agama dan syariat Islam yang dengan teguh selalu dia perjuangkan.
Melalui modifikasi sedemikian rupa, demokrasi dinyatakan tidak bertentangan dengan Islam. Maka sebagian menamainya
dengan sebutan demokrasi Islam, demokrasi dalam Islam atau seperti Al-Maududi menyebutnya dengan theo-democracy.
Demokrasi diubah menjadi suatu konsep hidup asasnya keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan yang ditegakkan diatas prinsip-prinsip syariah Islam. Tak ada lagi pertentangan antara perjuangan Islam dengan demokrasi model ini.
Pertanyaan kemudian, bisakah prinsip demokrasi diambil dan dimodifikasi seperti itu? Bagi kalangan anti demokrasi, mereka bersikeras menolaknya. Kenyataannya, demokrasi tidak pernah bisa difahami hanya dengan satu versi saja, umpamanya versi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) atau versi filsafat Yunani kuno yang menegasikan hak Tuhan dalam kehidupan dan memberikannya pada manusia. Bagaimanapun demokrasi dimaknai oleh orang, tetaplah ia menjadi sebuah konsep yang berbeda-beda tergantung dimana ia dipraktekkan. Makna dan praktik demokrasi secara luas telah
termodifikasi.
Contonya, di Indonesia demokrasi Soekarno dan Soeharto sangatlah berbeda. Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin dengan sikap anti asing. Adapun Soeharto demokrasinya adalah Pancasila dan pembangunan yang bersendikan kapitalisme dan modal asing. Demokrasi era reformasi, tentu berbeda lagi dan kini sedang mencari identitasnya. Di dunia, demokrasi Amerika, Inggris dan Perancis tidak sama. Antara Mesir, Syiria dan Libya juga berbeda. Demokrasi menganut asas dan kondisi yang paling dominan ditentukan oleh penguasanya. Tidak ada lagi demokrasi yang dipraktikkan dapat dimaknai secara mutlak dengan makna aslinya.
Oleh karena itu, memaknai demokrasi hanya dengan satu versi saja, umpamanya versi aslinya yang selalu dijadikan referensi kalangan Islam anti-demokrasi, tentu tidak tepat. Demokrasi maknanya telah berkembang. Sebaliknya, memaknai demokrasi
dengan versi kalangan Islam yang mendukungnya, tidak bisa juga disalahkan. Yang penting, semua kalangan Islam ini sama-sama menyepakati apa yang mereka ambil dan apa yang mereka tolak. Seperti dalam hal kedaulatan. Semua kalangan Islam menyepakati bahwa kedaulatan hukum mutlak ditangan Allah dan menolak kedaulatan manusia. Maka, tidak tepat kalau dikatakan mengakui demokrasi sama saja dengan mengakui kedaulatan manusia dan menentang kedaulatan Allah. Pendapat ini tidak pernah dikatakan oleh para pendukung demokrasi Islam. Disamping, demokrasi tidak harus melulu dimaknai pemberian kedaulatan Allah pada manusia.
Masalahnya, penolakan terhadap demokrasi kadang bukanlah sikap yang fair. Menurut Natsir—sebagai tokoh Islam terpenting dan terkemuka di Indonesia—bahwa dakwah Islam menemukan tempat yang paling baik saat ia berada dalam iklim demokrasi. Ungkapan Natsir ini, seratus persen tepat. Di negara-negara otoriter-anti-demokrasi seperti Mesir, Libya
dan Syiria, para aktifis Islam hidup di penjara-penjara ganas dan tak sedikit dari mereka berakhir di ujung bedil penjaga atau ditiang gantungan. Tak ada orang yang berani demo di jalan apalagi meneriakkan tuntutan menurunkan presiden. Perkumpulan dan kegiatan dakwah diawasi sangat ketat bahkan sampai ada semacam SIM-nya yaitu Surat Ijin Muballigh.
Lain halnya di Indonesia pasca reformasi, dimana demokrasi terbuka lebar semua kelompok Islam (bahkan yang anti
demokrasi sekalipun) menikmati kesempatan ini dengan bebas. Mereka semua—PKS, HTI, MMI, FPI, SALAFY dan lainnya—berlomba meneriakkan ide dan meraup massa sebanyak-banyaknya. Slogan anti demokrasi di iklim demokrasi ini bisa dengan lantang diteriakkan. Menolak demokrasi dan memanfaatkan demokrasi sekaligus? Tentu saja, karena di
zaman Soeharto ini hampir mustahil dilakukan. Zaman Soeharto tidak ada demokrasi. Maka disana juga tidak ada teriakan anti demokrasi, formalisasi syariah, dukungan untuk partai Islam dan penegakan khilafah; jargon-jargon yang dikeraskan volumenya saat ini. Di masa orde baru para aktifis itu lebih banyak diam. Yang berani berteriak, akan ditangkap dan mungkin dihabisi.
Tak terasa, diakui atau tidak demokrasi telah menjadi alat untuk memperjuangkan Islam oleh semua fihak. Siapapun itu.
Kenyataannya, semua aktifis Islam tanpa kecuali bergabung dengan berbagai institusi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi melalui instansi sipil, sistem pendidikan, bangku kuliah, melakukan advokasi dan lobby, pendirian badan hukum, pendirian firma bisnis, perusahaan, penggunaan sistem moneter dan mata uang rupiah dan lain-lain. Dengan alasan darurat dan lain hal, itu semua adalah lembaga-lembaga demokrasi yang dinikmati oleh seluruh umat Islam. Sekali lagi, tanpa kecuali.
Ibarat pertanyaan: Bagaimana kedudukan Abu Sufyan? Jawabnya: Bisa kafir, bisa mukmin. Tergantung bagaimana melihatnya. Sebelum fathu makkah, Abu Sufyan adalah gembong kekufuran. Setelah itu, dia adalah seorang sahabat nabi. Demokrasi tergantung pada bagaimana dia dimaknai. Dalam konsep umum, demokrasi adalah sistem kafir yang haram. Tapi, dalam konsep para pemikir dan ulama Islam yang mendukungnya, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Jadi, para pendukung dan penolak demokrasi tidak perlu meributkan hukum demokrasi lagi. Tidak relevan. Yang penting masing-masing menyibukkan dirinya dalam dakwah menurut cara yang dia yakini paling benar. Ini saat kerja. Bukan saat memusingkan atau malah menyerang apa yang dilakukan oleh jamaah dakwah lain. Wallahu A'lam.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Tantangan demokrasi direspon secara beragam oleh umat Islam. Sebagian menerima demokrasi dengan memberikan beberapa catatan. Sebagian lain menolak demokrasi secara mutlak, parsial maupun global.
Demokrasi adalah sistem yang dilahirkan di Barat. Barat mengakui persamaan hak pada rakyat untuk ikut serta dalam
mengatur kehidupan umum melalui lembaga negara. Dalam sistem mereka, rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan sekaligus sumber hukum. Hal ini dalam filsafat Barat dianggap kondisi alamiah (natural law). Tujuan-tujuan demokrasi Barat
terwujud dan terpelihara melalui institusi perwakilan (legislatif) yang bertugas membuat undang-undang dan mendelegasikannya pada eksekutif untuk kemudian dia awasi dan dia mintai pertanggungjawaban.
Bagi kelompok Islam yang menerima demokrasi tidaklah berarti sistem ini diambil dengan bulat seperti itu. Contohnya, Islam menerima konsep persamaan manusia didepan hukum. Al-Maududi mengatakan bahwa titik-temu mendasar antara demokrasi dan Islam ada dalam hal ini (Human Rights in Islam, hal.10). Demikian pula dalam hal kedaulatan, Dr Muhammad Imarah menganalisa titik persamaan lainnya, yaitu mengenai ketetapan bahwa kedaulatan manusia adalah hak yang
diakui asalkan ia berpijak diatas kedaulatan Allah. Maka kedaulatan manusia berhak untuk merinci serta menjabarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum-hukum Allah melalui proses yang disebut ijtihad (Perang Terminologi,
hal. 180). Dengan demikian, dalam demokrasi Islam, kedaulatan manusia tidak bertentangan dengan kedaulatan Allah.
Senada dengan Dr. Imarah, Prof. Wahbah Zuhaili mengatakan lebih jauh, bahwa trilogi demokrasi—eksekutif, legislatif dan yudikatif—bisa diterima oleh Islam selama sistem yang berlangsung disitu tunduk pada prinsip-prinsip Allah (Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, 8: 264). Bagi Prof. Zuhaili prinsip persamaan ini juga ditemukan melalui konsep Islam yang menghendaki kesetaraan dan penghormatan terhadap manusia serta memerangi segala bentuk kedhaliman dan tirani.
Adapun Dr Yusuf Qardhawi menegaskan sistem pemilihan umum dalam demokrasi bisa diterima oleh Islam melalui konsep syura-nya. Dari Indonesia, ketika melakukan oposisi terhadap Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, M. Natsir menyerukan sikap kembali pada demokrasi yang terpimpin dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup tinggi (Muhammad Natsir 70 Tahun, hal. 216). Nilai-nilai tinggi yang Natsir maksudkan ini adalah agama dan syariat Islam yang dengan teguh selalu dia perjuangkan.
Melalui modifikasi sedemikian rupa, demokrasi dinyatakan tidak bertentangan dengan Islam. Maka sebagian menamainya
dengan sebutan demokrasi Islam, demokrasi dalam Islam atau seperti Al-Maududi menyebutnya dengan theo-democracy.
Demokrasi diubah menjadi suatu konsep hidup asasnya keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan yang ditegakkan diatas prinsip-prinsip syariah Islam. Tak ada lagi pertentangan antara perjuangan Islam dengan demokrasi model ini.
Pertanyaan kemudian, bisakah prinsip demokrasi diambil dan dimodifikasi seperti itu? Bagi kalangan anti demokrasi, mereka bersikeras menolaknya. Kenyataannya, demokrasi tidak pernah bisa difahami hanya dengan satu versi saja, umpamanya versi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) atau versi filsafat Yunani kuno yang menegasikan hak Tuhan dalam kehidupan dan memberikannya pada manusia. Bagaimanapun demokrasi dimaknai oleh orang, tetaplah ia menjadi sebuah konsep yang berbeda-beda tergantung dimana ia dipraktekkan. Makna dan praktik demokrasi secara luas telah
termodifikasi.
Contonya, di Indonesia demokrasi Soekarno dan Soeharto sangatlah berbeda. Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin dengan sikap anti asing. Adapun Soeharto demokrasinya adalah Pancasila dan pembangunan yang bersendikan kapitalisme dan modal asing. Demokrasi era reformasi, tentu berbeda lagi dan kini sedang mencari identitasnya. Di dunia, demokrasi Amerika, Inggris dan Perancis tidak sama. Antara Mesir, Syiria dan Libya juga berbeda. Demokrasi menganut asas dan kondisi yang paling dominan ditentukan oleh penguasanya. Tidak ada lagi demokrasi yang dipraktikkan dapat dimaknai secara mutlak dengan makna aslinya.
Oleh karena itu, memaknai demokrasi hanya dengan satu versi saja, umpamanya versi aslinya yang selalu dijadikan referensi kalangan Islam anti-demokrasi, tentu tidak tepat. Demokrasi maknanya telah berkembang. Sebaliknya, memaknai demokrasi
dengan versi kalangan Islam yang mendukungnya, tidak bisa juga disalahkan. Yang penting, semua kalangan Islam ini sama-sama menyepakati apa yang mereka ambil dan apa yang mereka tolak. Seperti dalam hal kedaulatan. Semua kalangan Islam menyepakati bahwa kedaulatan hukum mutlak ditangan Allah dan menolak kedaulatan manusia. Maka, tidak tepat kalau dikatakan mengakui demokrasi sama saja dengan mengakui kedaulatan manusia dan menentang kedaulatan Allah. Pendapat ini tidak pernah dikatakan oleh para pendukung demokrasi Islam. Disamping, demokrasi tidak harus melulu dimaknai pemberian kedaulatan Allah pada manusia.
Masalahnya, penolakan terhadap demokrasi kadang bukanlah sikap yang fair. Menurut Natsir—sebagai tokoh Islam terpenting dan terkemuka di Indonesia—bahwa dakwah Islam menemukan tempat yang paling baik saat ia berada dalam iklim demokrasi. Ungkapan Natsir ini, seratus persen tepat. Di negara-negara otoriter-anti-demokrasi seperti Mesir, Libya
dan Syiria, para aktifis Islam hidup di penjara-penjara ganas dan tak sedikit dari mereka berakhir di ujung bedil penjaga atau ditiang gantungan. Tak ada orang yang berani demo di jalan apalagi meneriakkan tuntutan menurunkan presiden. Perkumpulan dan kegiatan dakwah diawasi sangat ketat bahkan sampai ada semacam SIM-nya yaitu Surat Ijin Muballigh.
Lain halnya di Indonesia pasca reformasi, dimana demokrasi terbuka lebar semua kelompok Islam (bahkan yang anti
demokrasi sekalipun) menikmati kesempatan ini dengan bebas. Mereka semua—PKS, HTI, MMI, FPI, SALAFY dan lainnya—berlomba meneriakkan ide dan meraup massa sebanyak-banyaknya. Slogan anti demokrasi di iklim demokrasi ini bisa dengan lantang diteriakkan. Menolak demokrasi dan memanfaatkan demokrasi sekaligus? Tentu saja, karena di
zaman Soeharto ini hampir mustahil dilakukan. Zaman Soeharto tidak ada demokrasi. Maka disana juga tidak ada teriakan anti demokrasi, formalisasi syariah, dukungan untuk partai Islam dan penegakan khilafah; jargon-jargon yang dikeraskan volumenya saat ini. Di masa orde baru para aktifis itu lebih banyak diam. Yang berani berteriak, akan ditangkap dan mungkin dihabisi.
Tak terasa, diakui atau tidak demokrasi telah menjadi alat untuk memperjuangkan Islam oleh semua fihak. Siapapun itu.
Kenyataannya, semua aktifis Islam tanpa kecuali bergabung dengan berbagai institusi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi melalui instansi sipil, sistem pendidikan, bangku kuliah, melakukan advokasi dan lobby, pendirian badan hukum, pendirian firma bisnis, perusahaan, penggunaan sistem moneter dan mata uang rupiah dan lain-lain. Dengan alasan darurat dan lain hal, itu semua adalah lembaga-lembaga demokrasi yang dinikmati oleh seluruh umat Islam. Sekali lagi, tanpa kecuali.
Ibarat pertanyaan: Bagaimana kedudukan Abu Sufyan? Jawabnya: Bisa kafir, bisa mukmin. Tergantung bagaimana melihatnya. Sebelum fathu makkah, Abu Sufyan adalah gembong kekufuran. Setelah itu, dia adalah seorang sahabat nabi. Demokrasi tergantung pada bagaimana dia dimaknai. Dalam konsep umum, demokrasi adalah sistem kafir yang haram. Tapi, dalam konsep para pemikir dan ulama Islam yang mendukungnya, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Jadi, para pendukung dan penolak demokrasi tidak perlu meributkan hukum demokrasi lagi. Tidak relevan. Yang penting masing-masing menyibukkan dirinya dalam dakwah menurut cara yang dia yakini paling benar. Ini saat kerja. Bukan saat memusingkan atau malah menyerang apa yang dilakukan oleh jamaah dakwah lain. Wallahu A'lam.
Wassalamualaikum Wr. Wb.