Kepikiran kalian untuk mengabdi di tanah Papua?? Mengabdi disana bagi saya yang kaya jiwa berbaginya tinggi sangat seru ya. Banyak kegiatan yang bisa kita lakukan disana pastinya. Mulai dari berbagi ilmu hingga mengajar memberantas buta huruf bisa jadi pilihan saat mengabdi.
Diana Menerima Satu Award 2023 |
Pengabdian menjadi jalan juang untuk teman-teman yang mengajarkan ilmunya. Apalagi para guru di desa terpencil. Pasti mereka penuh pengabdian dan motivasi tinggi dalam mengajar disana. Salah satunya adalah Diana Cristiana Da Costa Ati (28 th). Wanita kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, sejak tahun 2018 lalu mengikuti Program Guru Penggerak Daerah Terpencil tahun 2018, sebuah program inisiasi Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu, bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Diana mengabdi di daerah namanya Atti saat itu beliau kembali ke desa ini dan mengembangkan ilmu yang dipelajarinya dengan program memberantas buta huruf. Diana dalam kegiatannya berinisiatif meminta donasi lewat media sosialnya. Dia tidak mau menerima uang. Donatur diminta untuk menyumbang barang seperti buku, alat tulis, dan pakaian layak pakai untuk anak-anak. Tak jarang Diana menggunakan sebagian dari gajinya. Soalnya, dana BOS pun pernah sampai ke siswa.
Dengan kegigihan beliau dalam perjuangan memberantas buta huruf ini mendapatkan anugerah Astra bidang pendidikan. Astra sendiri memberi Diana dan kawan-awan ruang untuk berkolaborasi dengan kegiatan yang kami lakukan setiap harinya di pedalaman. Pada kegiatan belajar mengajar, Astra men-support (dukung) tablet belajar agar anak-anak pedalaman mengenal digital learning (pembelajaran digital). Astra juga membantu memonitor kegiatan belajar mengajarnya sendiri.
Diana Saat mengajar (dok : web dikti) |
Diana Cristiana Dacosta sendiri terpilih dalam program Guru Penggerak yang dibuat oleh Bupati Mappi bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua UGM. Dan langsung berangkat untuk bertugas pada bulan November 2018.
Cerita perjalanan dari pusat kota menuju kampung Ati inipun memakan waktu hingga 9 jam lebih. Ada banyak penghalang yang membuat perjalanannya menguras tenaga. Mulai dari jalanan tertutup pepohonan hingga melewati rumpun tebu dan rawa.
Perjalanan bisa lebih panjang sekitar 23 jam bila dilakukan melalui darat, yakni dari Merauke ke Asike di Kabupaten Boven Digoel selama 8 jam, lantas dilanjutkan menggunakan speed boat ke Kepi selama 7 jam. Dari Kepi, perjalanan melalui darat sekitar 2 jam menuju pelabuhan Agham. Selanjutnya menggunakan perahu ketinting menelusuri sungai menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti sekitar 4 jam. Dari Kampung Atti, berjalan kaki sekitar 2 jam hingga sampai di SDN Atti.
Bisa terbayangkan betapa melelahkannya untuk mencapai satu tempat saja. Namun, kelelahannya ini justru menjadikannya kuat sebab ada banyak wajah anak-anak yang bahkan tak mengenal jati diri bangsanya. Disana beliau tinggal di mess sekolah yang bareng dengan guru lainnya.
Diana pertama kali datang tahun 2021 di SDN Atti, , jangan berharap melihat siswa berseragam merah putih dan belajar di bangku dan kursi seperti halnya di Jawa atau di tempat lain. Sebagian besar siswa menggunakan pakaian sehari-hari yang sekaligus digunakan untuk main, tanpa sepatu. Saat ini, sebagian siswa sudah berseragam putih-merah dan belajar di kursi dan bangku, walaupun belum sepenuhnya.
Memang pantas beliau mendapatkan anugerah satu Indonesia ini. Kegigihan beliau selama ini dalam memberantas buta huruf terus dilakukan. Pengabdian di pedalaman papua. Meninggalkan hiruk pikuk kota asal menjadi sebuah pilihan Diana sendiri. Jadi apakah kita bisa menjadi seperti beliau?