SURIPISME VS MANOHARISME - Cerita Bang Doel
News Update
Loading...

July 26, 2009

SURIPISME VS MANOHARISME

Budaya populer dan instan yang digemari masyarakat tidak terlepas dari peran serta pemilik modal.Keuntungan menjadi orientasi dalam dunia hiburan dan pasar sebagai ideologi.Wajar, kini muncul “isme-isme”baru.


Tidak mudah mengklaim suatu bentuk seni merupakan bentuk budaya populer atau tradisi. Namun,banyak pihak sepakat,industri musik di dalam negeri terlalu banyak mendapatkan pengaruh budaya impor dan populer sehingga ikon Brithney Spears dengan lagunya Baby One More Time lebih digandrungi remaja ketimbang lagu Walang Kekek yangdidengungkan Waljinahyangdiidentikkan dengan penggemar usia tua.Bagaimanapun, baik musik tradisi atau populer, keduanya sama-sama memiliki penggemar.

Namun, keprihatinannya adalah jika generasi muda di negeri ini lebih menggandrungi musik populer, apakah musik tradisi masih akan mampu bertahan atau akan terancam punah? Menurut Ketua Komunikasi Untuk Kesenian (Komseni) Debra H Yatim,budaya populer yang sudah menjadi industri tidak terlepas dari peran dan kepentingan pemilik modal.Ketika sebuah produk budaya diminati sebagian besar masyarakat,beramai-ramailah industri mengeksploitasinya.

Jadi keuntungan dan pasar adalah orientasi utama. Namun, ternyata budaya populer atau yang sering disebut sebagai budaya instan tidak selalu berlangsung singkat. Buktinya, ketenaran mendiang Michael Jackson sebagai ikon musik pop bisa bertahan lebih dari 30 tahun.Tidak sedikit musisi dan pegiat seni yang terinspirasi kiprah Sang Raja Pop itu. Meski selama masa hidupnya penuh dengan kontroversi, di hari kematiannya seolah menjadi hari berkabung bagi jutaan penduduk di dunia.

“Siapa bilang budaya populer tidak akan bertahan lama? Budaya ini disukai masyarakat karena mudah dicerna dan direplikasi. Selainitumediamassaadalahpihak yang paling berperan dalam membuat budaya populer menjadi disukai masyarakat,” katanya kepada harian Seputar Indonesia. Menurut Debra,media massa adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Baik itu televisi,radio,cetak,hingga film.Sebab, dengan penayangan secara berulang akan muncul persepsi di masyarakat bahwa sesuatu yang dianggap modern adalah yang paling sering ditayangkan di media.

Walhasil, mindset tentang modern di masyarakat tersebut akhirnya dimanfaatkan industri media untuk mendulang iklan.Untuk stasiun televisi,rating merupakan standar penilaian yang sering dijadikan acuan. Apakah suatu acara digemari masyarakat atau tidak? Sebuah program yang mendulang rating tinggi maka potensial mendatangkan pundi-pundi uang dari perolehan iklan.Lagi- lagi kepentingan bisnis sangat bermain di sini.Meskipun instan,bagi industri yang terpenting mendatangkan keuntungan.

Dari dalam negeri, sebutlah beberapa nama seperti Tukul Arwana,Mbah Surip,dan Manohara.Beberapaikonyangsempatintens mewarnai dunia pertelevisian.Tukul Arwana demikian melejit setelah program talk show “Empat Mata”(yang kini berubah menjadi “BukanEmpatMata”) meraih ratingtertinggi di antara program serupa lainnya.Padahal sebelumnya Tukulsudahmalangmelintangdi dunia hiburan sebagai pelawak. Nasib mujur pria dengan nama asli Tukul Riyanto ini semakin membaik ketika terlibat dalam produksi Lenong Rumpi, bintang video klip “Air” Joshua.

Sebelum menjadi pembawa acara di Empat Mata, Tukul juga sempat menjadi pembawa acara musik “Aduhai”di TPIserta acara “Dangdut Ria”di Indosiar.Tukul juga membintangi beberapa film layar lebar seperti Otomatis Romantis dan Cinlok pada 2008. Untuk urusan melawak sudah dilakukan Tukul sejak kelas VI SD melalui berbagai lomba yang diikutinya.

Sehingga sebagai pribadi, kesuksesan Tukul tidak datang tibatiba namun sudah dirintis sejak lama. Kisah yang nyaris serupa dialami Mbah Surip.Kakek berusia sekitar 60 tahun dengan rambut gimbal dengan tawanya yang khas itu kini sedang digandrungi penggemarnya. Lagu“Tak Gendong”dan“Bangun Tidur”yang dijual dalam bentuk ring back tone (RBT) ternyata digemari masyarakat dan diunduh jutaan nomor telepon seluler. Kabarnya, royalti yang didapatkan Mbah Surip mencapai sekitar Rp5 miliar sehingga membuatnya menjadi orang kaya baru.

Bahkan, saat ini sedang direncanakan penggarapan film Bangun Tidur dengan inspirasi dari lagu Mbah Surip. Serupa dengan Tukul, Mbah Surip pun sudah meniti kariernya puluhan tahun.Lagu “Tak Gendong”yang sudah dibuat sejak 1983 sudah berkali-kali ditolak industri label rekaman.Baru kemudian Falcon Music menerimanya dan kemudian didistribusi dalam bentuk RBT. Sebelum setenar sekarang, Mbah Surip biasa manggung dari satu tempat ke tempat lain.Namun kini, stasiun televisi dan media masa berebut untuk mengundangnya tampil.

Melawan Persepsi

Tukul Arwana dan Mbah Surip adalah sama- sama sebagai orang yang dalam persepsi publik tidak dianggap ganteng, putih, atau tinggi sehingga kategori layak jual bagi industri hiburan ternyata tidak berlaku bagi Mbah Surip dan Tukul.

Sebab buktinya mereka mampu membius penggemarnya dan menjadi sumber pendapatan bagi industri hiburan.Lagi-lagi budaya industri tidak melulu berurusan dengan persepsi masyarakat. Melainkan apakah mampu mendatangkan keuntungan atau tidak. Ganteng, cantik, namun tidak digemari masyarakat tidak akan dianggap “seksi”oleh industri. Apakah figur Tukul dan Mbah Surip telah memorak-porandakan pola budaya pop selamaini?

MenurutDebra Yatim,budaya pop tidak selalu terkait dengan kondisi fisik seseorang. Melainkan seberapa seringnyakah media masa menayangkan dan memuatnya. Meski demikian populer bisa dimulai oleh media atau masyarakat yang memang menggemarinya. Namun pembentukan persepsi tentang selera massa pada awalnya sangatdiperankanolehmediamassa sehingga wajar budaya tradisional semakin terpinggirkan dan kehilangan penggemar.

Sementara budaya populer sangat digemari karena mendapatkan jam tayang berlebihan. “Berapa banyak kesenian tradisional yang merupakan produk kebudayaan kita yang terancam punah.Dari Flores,Maluku, Sulawesi, Kalimantan, semua kalah oleh budaya “fotokopi” dari budaya impor. Selain itu saya juga belum melihat media masa bersedia menyediakan sedikit jam tayangnya bagi kesenian tradisi,”paparnya.

Debra mengisahkan bersama rekan-rekannya telah mencoba melakukan pendekatan kepada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia(PRSSNI) untuk diimbau menyediakan waktu bagi pemutaran musik tradisional daerah setempat.Namun,upaya yangdilakukanlebih dari lima tahun ini tidak mendapat jawaban.Alasannya adalah musik tradisi dianggap tidak mampu mendatangkan penghasilan.Sementara musik populer digemari masyarakat.

“Padahal, dengan cara disediakan jam siar khusus bagi musik tradisional maka nantinya akan banyak yang menggemarinya. Jadi harus dimulai dan disiarkan secara berulang guna melestarikan budaya Indonesia,”ujarnya. Menurut Debra,pemerintah seharusnya lebih berperan dalam melestarikan tradisi lokal dari hegemoni budaya impor.Melalui pemberlakuan kesenian tradisional di tingkat sekolah dasar.Seperti mewajibkan murid untuk belajar alat musik tradisional di daerahnya.

Ini harus dimasukkan dalam kurikulum bukan ekstrakurikuler.Dengan cara tersebut,generasi muda Indonesia akan mendapatkan wawasan budaya tradisinya sejak dini sehingga hegemoni budaya asing tidak lagi perlu dikhawatirkan. Seorang Filsuf dan Sosiolog kenamaan dari Jerman Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno memandang rendah kebudayaan populer.Sebab budaya pop dianggap bersifat konservatif dan afirmatif.Kebudayaan pop selalu mendamaikan dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis.

Karakteristik fundamental dari budaya populer,khususnya dalam musik populer adalah standarisasi. Karakteristik yang membedakannya dengan bentuk highcultureyangdianggapadiluhung.

Share with your friends

Give us your opinion

Terimakasih sudah coment.. kalau bagus silahkan share tulisan ini... terimakaasihhh

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done